SoE, fajartimor.net- Pada akhir Desember 2015, tulisan dalam bentuk buku berjudul A’atonis (Natoni), Budaya tutur Atoin Meto, setebal 185 halaman, dibedah sejumlah tokoh Adat, Agama, Akademisi, dan Birokrat se-kabupaten TTS pada seminar khsusus yang diselenggarakan di SoE bekerja sama dengan dinas Pariwisata Setempat.
Bedah buku terbitan Lembaga Peduli Pemuda Mandiri tersebut menghadirkan narasumber utama, sang penulis Drs. Hendrik Fobia, tokoh yang kaya pengalaman di dunia kerja birokrat, dan memiliki kedudukan strategis dikalangan masyarakat swapraja Oenam (Mollo).
Dalam paparannya Fobia menjelaskan, buku ini ditulis dalam gaya yang santai, sederhana hanya untuk kepentingan anak-anak dan generasi muda.
“Buku ini belum sempurna atau lengkap, karena itu forum bedah buku ini mohon dilengkapi dengan sumbangan pemikiran,” harap Fobia.
Menurut mantan Ketua DPRD TTS ini, buku ini dilengkapi dengan sejumlah referensi yang berkualitas, termasuk pemikiran dari beberapa pemerhati budaya nasional dan dunia, antara lain, Mader Coukc dari Belanda.
“Ini menjadi motivasi sekaligus literature utama dari penulisan buku ini, termasuk dari Seaden, dan Hawai. Mereka sering datang ke rumah, ada yang sudah 10 kali datang. Ini yang menolong saya untuk mendapatkan pikiran tentang budaya Timor lalu menulisnya menjadi buku. Saya tidak mau budaya kita ditulis orang barat,” tegas Fobia.
Selain menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pak Don dari Dinas Pariwisata yang tertarik mengemas buku ini menjadi lebih menarik hingga dicetak, Ia juga menguraikan bagian-bagian dari buku karyanya itu.
Bagi penulis yang sudah menulis beberapa buku ini, Aat artinya yang bicara, sedangkan Tonis berarti jawab.
“Natoni itu kata kerja. Kata bendanya Aat dan Tonis. Kegiatannya disebut Natonis. Ini penting karena dalam kegiatan apa saja, kita harus melakukan natoni. Tulisan ini supaya orang tahu kalau Aatonis ini orang lain tahu kita punya budaya tutur adat orang Timor, termasuk bagaimana Aatonis sudah memenuhi syarat sebagai adat atau hanya sebagai sebuah kebiasaan,” terang Fobia.
Drs Samuel Nitbani, M.Si, dosen Bahasa Indonesia, FKIP Undana, yang menjadi pembedah buku itu berpendapat, Tonis diperlukan dalam bentuk ungkapan. Aat dipakia untuk dimasukan dalam perspektif. Bukan Moloktonis dan bukan Kuantonis, juga bukan Aat.
“Cara ungkapan gaya orang Timor menghormati orang adalah meninggikan orang lain dan merendahkan diri sendiri. Cara menggunakan ragam bahasa yang tinggi dan yang rendah. Cara yang perlu dikritisi termasuk seluk beluk serta pembinaan dan pengembangan. Pola apa yang dipakai untuk pembinaan dan pengembangan tonis. Misalnya melalui pendidikan formal dan informal. “Bila perlu menjadi salah satu syarat menjadi calon pemimpin di TTS ke depan,” usul Nitbani.
Nitbani juga memberi masukan lebih tajam pada pendalaman dari sisi akademis linguistic dan sistematika penulisan, juga kedalaman ulasan budaya. Bagi dia, pemakaian A’atonis sebagai sebuah kata kerja dan nama Natoni sebagaimana sebutan masyrakat umum sebagai kata sifat.
“Saya berharap buku ini mesti lebih disempurnakan ke depannya sehingga bisa dipulblikasi luas ke generasi muda TTS dan para peneliti budayaa nasional dan dunia,” saran Nitbani.
“Aatonis sangat sakral dan masih relevan dengan konteks kekinian, yakni Tonis Lasi, Tonis Pah dan Tonis Ketimahan,” tambah Don da Costa.
Ada juga yang memberi kritik atas buku ini, ada pula yang mengusulkan agar buku ini masuk dalam kurikulum atau muatan lokal. Asisten 2, Maksi Oematan mengharapkan agar perlu ada Ijin Standar Nasional (ISN). Artinya agar buku ini memenuhi syarat untuk sebuah buku yang bisa dipublikasi secara luas, dan menjadi referensi untuk pendidikan formal dan informal. Dan, terlebih bisa menanamkan nilai-nilai kepada generasi muda.
“Peradaban selalu fleksibel,” kata Maksi Oematan.
Peserta lain yang ikut bicara memberi pikiran kritis dan cerdas untuk melengkapi buku ini adalah Yan Timo (warga Desa Oekamussa, Yohanes Melu, Tinus Kabur, Samuel Muda, Albert Fay, Nitanel Tanaem, Okto Oematan, Samuel Selam, Boymau, dan Pae Nope.
Dari diskusi yang kritis di forum bedah buku itu, lahirlah sejumlah kesepakatan yang menjadi rekomendasi forum itu. Antara lain, semua pikiran kritis untuk perbaikan akan diperhatikan.
Pada saat menggelar Natoni (karena ini menyangkut hargai diri, hargai tamu dan juga budaya, maka harus menggunakan pakaian adat lengkap. Berikut, Dinas Pariwisata diharapkan mau menggandakan buku tersebut.
Dan salah satu yang penting adalah memberi ruang ulasan mendalam pada edisi berikutnya, terhadap tiga sub masyarakat TTS, yakni masyarakat adat Molo, Amanuban dan Amanatun. Sebab, masing-masing ada perbedaan yang signifikan. Sarannya, menerbitkan buku yang ada sebagai cetakan pertama dan perlu ada perbaikan pada cetakan selanjutnya.
‘Ada ISBN’
Fidel Nogor, selaku Editor bersama Drs Don Da Costa, M.Par, menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada penulis buku Drs Hendrik Fobia.
“Saya memberikan apresiasi buat pa Fobia, pembedah dan semua peserta yang sudah dengan antusias, kritis, tajam dan vulgar memberikan kontribusi berarti demi penyempurnaan buku ini. Semua masukan kritis sangat membantu,” kata Owner Majalah Fortuna, sekaligus pegiat budaya, yang konsen terhadap masalah budaya dan pariwisata, termasuk di Kabupaten TTS.
Menurut Fidel, (alumni GMNI Cabang Kupang), desain cover memang masih sangat terbatas, karena ada naskah yang tidak dilengkapi dengan foto yang mendukung.
“Tapi jangan kecewa, akan ada penyempurnaan dalam cetakan edisi kedua. Saya sepakat dengan Pa Fobia, kita terbitkan dulu edisi perdana pada Desember 2015 ini karena terbatasnya waktu dan anggaran. Cetakan selanjutnya tahun 2016 ini dilengkapi dengan nomor seri ISBN, dan akan melibatkan para tokoh, termasuk Pa Samuel sebagai editor dari tokoh lintas Swapraja. Kita harapkan Dinas Pariwisata memfasilitasi anggaran untuk cetakan kedua”, tutup Fidel. (ft/jdz/tim)