Bola Panas Sengketa Tanah Ulayat di Surisina

  • Share

Ngada, fajartimor.net. Perkara tanah ulayat yang digugat Maria Jei Finu cs,  di Pengadilan Negeri Bajawa pekan lalu bakal panas. Pasalnya, di atas obyek tanah yang sama, terjadi dua gugatan sekaligus. Pemerintah setempat dikabarkan ikut tersandung perkara ini.  Siapa yang bakal tenggelam dipusaran perkara menghebokan ini?

 Sengketa tanah ulayat di Surisina Kelurahan Faobata – Kecamatan Bajawa – Kabupaten Ngada ini bakal memantik perhatian publik. Pekan lalu keluarga Maria Jei Finu suturut bukti sebagai ahli waris atas obyek tanah ini mengajukan gugatan terhadap Maria Dhone Soko yang sudah bertahun-tahun menguasai dan menikmati keuntungan dari tanah tersebut.

 Kuasa Hukum penggugat dari Law Firm Mitra Justicia – Leo Lake Nuba, SH menegaskan, “serangkaian tindakan tergugat yakni Maria Dhone Soko yang mengklaim bidang tanah warisan dan sebidangnya telah dijual kepada Dominikus Mau   jelas jelas perbuatan melawan hukum yang sangat merugikan klien kami Maria Jai Fine,”.

Menurut Leo, Ikhwal sengketa dipicu karena Maria Dhone Dhone sebagai penggarap secara tahu dan mau berusaha memiliki tanah ulayat warisan keluarga Maria Finu tersebut. Tanah garapanseluas 19.974 M2 itu bahkan sudah dijual secara sepihak oleh Maria Dhone Soko tanpa sepengetahuan pewaris. Ini nyata-nyata perbuatan melawan hukum,” tuturnya.

Pengacara jebolan Universitas Merdeka Malang ini kembali menjelaskan, menurut bukti, tahun 1964 keluarga tergugat Maria Dhone Soko meminta ijin kepada keluarga Maria Jei Finu untuk mengolah tanah tersebut demi menafkai keluarganya selama empat tahun. Baru pada tahun 1955,tanah tersebut diolah Pengurus Organisasi Perkumpulan Masyarakat untuk  menanam jagung dan pemilik lahan mendapatkan upeti dari hasil panen tersebut. Saat itu, Nenek dari Maria Dhone Soko sempat dikenakan denda adat berupa satu ekor kerbau karena ketahuan melakukan pencurian jagung milik kelompok masyarakat tersebut. Peristiwa ini masih direkam baik oleh warga setempat sekaligus menegaskan tanah itu bukan milik keluarga Marie Dhone Soko.  Namun atas budi baik keluarga Maria Fine, tiga tahun kemudian, tanah sengketa itu masih dikasih kembali untuk digarap keluarga Maria Dhone sampai dengan saat ini.

Leo melanjutkan, memasuki tahun 1980,  Maria  Dhone Soko kembali berulah. Lahan yang sama-sama digarap oleh rumpun keluarganya diam-diam diserobot dan diambil alih Maria Dhone Soko berserta semua hasil kebun di atas tanah itu, sehingga para penggarap memilih untuk meninggalkan tanah kebunnya. Bahkan Dhone bersama orang tuanya, membuat fondasi rumah diatas  tanah tersebut. Akal bulus Dhone dan orang tuanya ini rupanya terhalang keluarga Maria Jei Fine sebagai pemilik ulayat.  Merasa dihalang-halangi, Maria Dhone mengajukan perkara tersebut ke Lembaga Pemangku Adat ( LPA ) kelurahan Faobata.  Ironisnya, ketika Lurah Faobata  meminta  kedua belah pihak untuk menghadirkan saksi, Dhone sendiri kesulitan. Yang hadir hanya saksi dari keluarga Maria Jei Fine. Merasa tidak diuntungkan, Maria Dhone berupaya untuk menariklaporannya kembali, namun ditolak oleh LPA. LPA akhirnya berkesimpulan  bahwa keterangan Maria Dhone Soko sangat  Lemah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Keterangan para saksi menguatkan posisi Maria Jei Fine sebagai ahli waris atas tanah ulayat tersebut.

Maria Dhone rupanya tak kehilangan akal. Secara diam – diam  ia mengajukan  Permohonansertifikasi atas tanah tersebut kepada  Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Ngada. Anehnya sekalipun berkas  yang diajukan untuk sertifikat syarat rekayasa, pemerintah Kelurahan Faobata dan Camat Bajawa tetap memberikan legalitas  atas semua dokumen tersebut. Padahal Lurah dan Camat tahu kalau tanah tersebut masih dalam sengketa. Diduga kuat, pemerintah telah berkonspirasi dengan Maria Dhone Soko lantaran ingin memperoleh lahan itu juga.

Demikian pula Kantor  Pertanahan  Kabupaten Ngada   dengan tidak Cermat dan teliti mengkaji  semua dokumen  dokumen yang diajukan. Petugas Kantor Pertanahan langsung melakukan  pengukuran dan  pengambilan data tanpa meminta keterangan dari pihak penggarap dan pihakyang berbatasan  langsung dengan tanah sengketa tersebut. Cerobohnya, sertifikasi terhadap tanah itu dikeluarkan atas nama Maria Dhone yang berstatus sebagai penggarap.

Pemerintah sesungguhnya telah mengakui tanah ulayat tersebut adalah milik Maria Jei Fine. Sehingga pada tahun 1989 telah dilakukan Pengukuran  dan Pendataan Tanah untuk memperoleh Serri  A  oleh Pemerintah Propinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten Ngada terhadap keseluruhan bidang tanah tersebut  dengan luas  +  19974 M2; dan selanjutnya tanah  tersebut didaftar dalam Buku Seri A atas nama Maria Fine. Konsekwensinya Maria Fine selalu membayar Pajak atas  keseluruhan tanah tersebut setiap tahun, sampai Tahun Pajak 2014 ini. (ft/rudy_tokan/tim)

  • Share