Diduga ada gratifikasi berupa pemberian tunjangan perumahan bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT sekitar Rp 17,9 Milyar sejak tahun 2013 hingga tahun 2015.
Sumber fajartimor.net yang enggan disebutkan namanya, saat ditemui kemarin menjelaskan, pemberian tunjangan perumahan sebesar Rp 9 juta/bulan atau sebesar Rp 108 juta bagi setiap anggota DPRD NTT tersebut dapat dianggap sebagai gratifikasi karena tunjangan perumahan tersebut terlampau besar dan tidak digunakan untuk menyewa/mengontrak rumah.
“Kalau tunjangan perumahan tersebut ditetapkan berdasarkan PP No.37 Tahun 2005, maka besaran tunjangan perumahan yang wajar, rasional, dan sesuai kemampuan keuangan daerah dan harga sewa/kontrak dipasaran adalah Rp 3 juta/bulan atau sekitar Rp 36 juta/per tahun,” tandasnya.
Menurutnya, harga kontrak ruko lantai di jalan protokol dan di Flobamora Mall setahun sekitar Rp 30 juta. “Kalau untuk sewa rumah tinggal di Kota Kupang untuk seorang anggota dewan yang terhormat, dengan sewa sekitar Rp 30 juta per tahun, itu sudah sangat layak. Yang wajar saja, coba siapa di Kota Kupang ini yang mengontrakan rumah tinggal dengan harga Rp 108 per tahun. Siapapun pasti akan mengatakan bahwa ini tidak masuk akal. Saya kira jangan ada dusta diantara kita,” ujarnya sinis.
Secara rasional, lanjutnya, seorang anggota dewan adalah representasi rakyat yang diwakilinya. Karena itu, anggota dewan diberi uang representasi yang besarnya sekitar Rp 2,3 juta/bulan. “Karena anggota dewan adalah wakil rakyat yang memegang kedaulatan Negara maka mereka disebut wakil rakyat yang terhormat dan mendapat uang kehormatan sekitar Rp 3,4 juta/per bulan,” paparnya.
Jika ditotal, lanjutnya, uang representasi dan uang kehormatan sekitar Rp 5,7 juta/bulan. “Itulah gaji anggota DPRD NTT yang bekerja untuk rakyat. Tapi mengapa total uang representasi dan uang kehormatan jauh lebih kecil dibanding tunjangan perumahan? Ini lucu. Kog tunjangan perumahan diutamakan? Padahal dalam PP 37 2005, tunjangan perumahan adalah tunjangan tambahan bukan tunjangan yang wajib diberikan. Jadi kalau tidak diberikan pun tidak ada masalah,” tegasnya.
Selain itu, lanjutnya, salah satu factor yang menyebabkan tunjangan perumahan tersebut dapat dikategorikan sebagai gratifikasi karena dana tersebut tidak digunakan untuk mengontrak/sewa rumah. “Ini uang Negara, dikasih untuk sewa/kontrak rumah tapi yang bersangkuta tidak menyewa/mengontrak rumah karena mereka tinggal di rumah sendiri dan tinggal di rumah yang disediakan untuk anggota Dewan oleh Pemprov NTT di Perumahan BTN Kolhua Kupang. Lalu pertanggungjawabannya bagaimana?” ujarnya.
Menurutnya, mungkin secara administrasi bisa saja dibuat-buat. “Tapi bagaimana pertanggungjawaban secara moral seorang anggota dewan yang terhormat dengan masyarakat NTT yang diwakilinya? Apakah konstituen yang diwakilinya sudah memiliki rumah yang layak huni? Kita semua tahu bagaimana kondisi rumah sebagian besar masyarakat kita di desa-desa?,” kritiknya.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan fajartimor.net, dana tunjangan perumahan DPRD NTT tiga tahun terakhir sekitar Rp 17,9 milyar. Pada tahun 2013, dialokasikan dana tunjangan perumahan bagi 51 orang anggota DPRD NTT sekitar Rp 5,5 milyar rupiah.
Pada tahun 2014, dialokasikan dana tunjangan perumahan bagi 51 orang anggota dewan ditambah 10 orang anggota dewan baru sekitar Rp 5,8 milyar. Dan pada tahun 2015, dialokasikan tunjangan perumahan untuk 61 anggota DPRD NTT sekitar Rp 6,5 milyar. (ft/tim)