Kupang, fajartimor.net. Diduga ada mark up (penggelembungan, red) dana tantiem dan jasa produksi (jaspro) pada Bank NTT tahun buku 2013 senilai lebih dari Rp 9,1 milyar. Hal tersebut terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (BPK) RI Wilayah VI Provinsi NTT terhadap Operasional atas PT Bank Pembangunan Daerah NTT Tahun Buku (TB) 2013 dan 2014.
Direktur Bank NTT, Daniel Tagu Dedo yang hendak dikonfirmasi fajartimor.net melalui telepon selularnya, enggan memberikan klarifikasi. “Saya masih di Sumba, pulang baru saya kontak,” ujarnya. Namun saat dihubungi kembali hingga berita ini dilansir, Tagu Dedo tidak dapat dihubungi.
Berdasarkan pemeriksaan BPK, ditemukan bahwa : (1) Tantiem TB 2013 dibagikan sebesar tiga persen yaitu Rp 7.852.142.912,- kepada Komisari dan Direksi Bank NTT yang diperhitungkan secara proporsional; (2) Jaspro pegawai TB 2013 dibagikan sebesar sembilan persen yaitu Rp 23.556.422.800,- kepada kepala sekretariat komisaris, komite dewan komisaris dan pegawai; (3) Pembagian tantiem dan jaspro TB 2013 tidak diambil dari laba ditahan tetapi diambil dari biaya yang sudah dibebankan pada laporan laba/rugi perusahaan TB 2013;
(4) Kekurangan yang timbul akibat pembagian tantiem dan jasa produksi TB 2013 dibebankan pada masing-masing pos biaya tahun berjalan anggaran PT Bank NTT (tahun 2014, red); dan (5) Perlakuan dan pengakuan pajak penghasilan pasal 21 (PPh 21) atas pembagian tantiem dan jasa produksi TB 2013 adalah Bank memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang diambil dari biaya tahun berjalan pada anggaran PT Bank NTT.
Dalam LHP BPK, disimpulkan bahwa nilai laba yang dijadikan dasar perhitungan usulan pembagian tantiem dan jaspro karyawan PT Bank NTT TB 2013 tidak sesuai dengan laba bersih setelah pajak pada Laporan Keuangan yang telah diaudit akuntan public dan telah disahkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank NTT pada tanggal 12 Juni 2014 yakni Rp 231.722.260.256. Dengan dasar perhitungan laba bersih tersebut, tantiem yang seharusnya dibagikan hanya sebesar Rp 6.951.667.808. dan Jaspro yang seharusnya dibagikan sebesar Rp 20.855.003.423.
Namun dalam realisasinya, Direksi menggunakan laba sebelum pajak yakni Rp 261.738.097.077 sebagai dasar perhitungan tantiem dan jaspro. Akibatnya, tantiem yang direalisasikan sebesar Rp 7.852.142.912. Dengan demikian terjadi kelebihan pembayaran tantiem sebesar Rp 900.475.104.
Sedangkan jaspro yang direalisasi berdasarkan laba bersih sebelum pajak menjadi Rp 23.556.428.736 dari seharus (sesuai laba bersih yang telah diaudit, red) Rp 20.855.003.423. Dengan demikian terjadi kelebihan pembayaran jaspro sebesar Rp 2.701.425.312.
Berdasarkan itu, BPK menemukan adanya kelebihan biaya yang dikeluarkan oleh PT Bank NTT melalui pembagian tantiem dan jasa produksi sebesar Rp 3.601.894.480,- (Rp 900.475.104 + 3.601.894.480). Direksi kemudian membebankan mark up (penggelembungan) pembayaran tersebut pada pos biaya tahun 2014. Menurut BPK, seharusnya Direksi menggunakan laba bersih setelah pajak yang telah diaudit sebagaimana amanat RUPS sehingga tidak terjadi kelebihan pembayaran tantiem dan jaspro hingga Rp 3,6 milyar tersebut.
Selain itu, BPK juga menemukan bahwa Bank NTT tidak melakukan pemotongan PPh 21 atas pembagian tantiem kepada Komisaris dan Direksi Bank NTT dan jaspro kepada karyawan pada TB 2013 sebesar Rp 5.556.466.100. Direksi kemudian membebankan PPh 21 yang tidak dipotong tersebut kepada pos biaya tahun buku 2014. Ini menyalahi UU No.40 tentang Perseroan Terbatas karena tantiem dan jaspro merupakan laba yang ditahan dan harus diambil dari tahun buku yang bersangkutan. BPK juga menemukan bahwa dalam pembagian tantiem dan jaspro TB 2013 dan tahun buku sebelumnya, PPh 21 dibebankan/dipotong dari tantiem/jaspro masing-masing komisaris/direksi dan karyawan.
Untuk membenarkan tindakan yang ‘mengangkangi’ amanat RUPS tersebut, Direksi Bank NTT membuat ketentuan intern yang mengatur tentang pelaksanaan perhitungan dan pembayaran tantiem dan jasa produksi sesuai Surat Keputusan Direksi No.125 Tahun 2014, tertanggal 16 Desember 2014 (setelah menjadi temuan pemeriksaan BPK, red).
Padahal sesuai Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-16/PJ.44/192 tentang Pembagian Bonus, Gratifikasi, Jaspro dan Tantiem, antara lain dikatakan : (1) Apabila bonus, gratifikasi, dan jasporo dibayarkan kepada karyawan maupun direksi dan komisaris dibebankan kepada retained earning (laba ditahan, red) maka pembayaran tersebut merupakan penggunaan retained earning, sehingga bukan merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh; dan (2) Tantiem merupakan bagian keuntungan yang diberikan kepada direksi dan komisaris oleh pemegang saham yang didasarkan pada suatu prosentasi/jumlah tertentu dari laba perusahaan setelah kena pajak. Oleh karena itu, pemberian tantiem tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dalam menghitung penghasilan kena pajak dan bagi si penerimanya merupakan penghasilan sehingga dikenakan pemotongan PPh 21. (ft/tim)