‘Mampukah Kelor Menggantikan Posisi Daging, Telur dan Susu?’

  • Share
Patrianus Lali Wolo, Anggota Komisi II DPRD NTT, Fraksi PDI Perjuangan, Pegiat Usaha Unggas dan Turunannya yang sudah go Internasional (foto istimewa)

Kupang, fajartimor.net – Hari-hari ini, Masyarakat NTT dikecut dengan posisi tawar Kelor sebagai yang memiliki kadar protein tinggi dan diyakini efektif mengentaskan gizi buruk, stunting dan penyakit gizi buruk lainnya. Jika demikian apakah asupan Kelor dapat menggantikan posisi asupan Daging, Telur dan Susu?

Pernyataan tantangan tersebut tegas disampaikan Ketua komisi II DPRD Provinsi NTT, Fraksi PDI Perjuangan, Patrianus Lali Wolo menanggapi penyampaian pemerintah terkait program unggulan Kelor yang hanya sebatas gelondongan saat pemyampaian RPJMD kepada fajartimor di ruang Fraksi setempat, Kamis (6/11/2018).

Menurutnya, RKA atau break down pemerintah belum terlihat dan terbaca secara jelas Program Unggulan Kelor akan berawal dan berujung seperti apa?

“Soal kadar protein Kelor yang katanya melebihi kadar protein dari asupan Daging, Telur dan Susu, sebelumnya telah diteliti secara mendalam atau tidak? Kalaupun sudah diteliti, aksiomatiknya, penelitiannya dilakukan dimana? Oleh Lembaga terpercaya mana? Dan rekomendasinya seperti apa?”, unjuk Patris.

Diakui, bahwa Program unggulan Kelor adalah mimpi juga  gagasan brilian Gubernur terpilih. Namun seyogyanya, diawali dengan sejumlah format baku, soal seperti apa, pola pengembangannya.

“Dalam tataran program, pengembangannya tentu diperlukan yang namanya, rekomendasi Ahli, kemudian diikuti perencanaan matang, penyiapan bibit, lahan, penyuluh, petani, analisa hasil yang ingin dicapai, yang akan berujung pada peningkatan kualitas hidup dan keuntungan ekonomi bagi masyarakat NTT secara keseluruhan. Ini yang belum terlihat”, heran Patris.

Dikatakan, parlemen akan terus mengawal Program unggulan Kelor, Gubernur dan Wakil Gubernur yang tentunya selalu pada tataran terus mempertanyakan nilai utopis program tersebut.

“Penajamannya adalah seperti apa lahannya. Bagaimana kesiapan sumberdaya petani dan penyuluh. Bagaiamana prosesingnya pasca panen. Bagaiamana pengumpulan produk itu setelah panen dari sejumlah lokasi. Lalu yang tidak kalah pentingnya resi gudangnya seperti apa dan penjualannya bagaimana? Kemudian jawaban solusi seperti apa kaitannya dengan persoalan gizi buruk?”, tantang Patris.

Ditambahkan, bila asupan Kelor diyakini sebagai yang bisa menggantikan asupan Daging, Telur dan Susu, variasi produknya atau model yang ditawarkan itu berupa kapsul, bubuk, gelondongan, batang, biji atau apa?

“Kita justru berharap pemerintah pemilik program unggulan tersebut harus bisa menghitung, biaya produksi untuk menghasilkan satu kilogram Kelor kering. Atau satu kilogram daun kelor mentah. Atau satu kilogram bubuk daun Kelor. Atau mungkin juga satu kilogram biji Kelor. Karena ini akan berdampak pada penghasilan Petani (income) yang juga akan berujung pada keseimbangan pendidikan, kesehatan dan pada gilirannya, sisa netnya demi peningkatan kesejahteraan taraf hidup”, terang Patris.

Ukuran-ukuran ini, lanjut Pejuang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan asal Ngada-Nagekeo tersebut akan menjadi bahan evaluasi Parlemen.

“Kita pasti ikut mendorong program tersebut demi capaian-capaian seperti mimpi penggagasnya. Namun evaluasi akan terus dilakukan karena sudah tentu akan bersinggungan dengan alokasi anggaran”, tandas Patris. (ft/tim)

  • Share