Kata Tikus adalah term (istilah) yang sudah familiar dengan telinga manusia. Ketika orang mendengar kata Tikus asumsi orang pada umumnya akan terarah pada binatang berkaki empat yang ukurannya bisa besar bisa juga kecil. Bagi para petani, Tikus adalah hama yang harus dibasmi. Bagi sebagian suku di daratan Flores dan Irian, Tikus adalah buruan yang dagingnya berkadar gizi tinggi. Bagi para pemilik rumah hunian, Tikus adalah binatang kotor sekaligus perusak. Untuk mengantisipasi kehadiran Tikus tersebut, Kucing adalah jawabannya. Bagi suku tertentu di Lamalera, Tikus adalah personil perang yang dapat digunakan bila sewaktu waktu dibutuhkan. Bagi Negeri Paman Sam, Tikus (Mouse) adalah teman gelitiknya Kucing (Miky). Bagi Iwan Fals Sang Maestro Musik Indonesia, Tikus berdasi adalah representasi atau perwakilan dari betapa maraknya korupsi yang sudah membumi di negeri sejuta pulau ini. Sementara bagi para peneliti kehidupan binatang, Tikus dimasukkan dalam klasifikasi bangsa “Marmut”. Akan tetapi pernakah orang coba menerka, bahwa Tikus yang adalah sebangsa Marmut tersebut, mempunyai kepanjangan minor?. Dua kata Tikus, “Marmut”, kini mendapat afirmasi miris sebagai “Tindakan Khusus Meraup Anggaran Rakyat Menuai Untung?”.Tikus “Marmut”, rupanya tidak saja menggejala tapi sudah berurat akar. Realita kini berbicara, hampir di semua daerah, tak ketinggalan, di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Timor Tengah Selatan, Tindakan Khusus yang kotor dalam tanda petik, demi meraup anggaran rakyat untuk tujuan menuai keuntungan bagi diri sendiri dan kelompok, menjadi drama baru. Upaya mendramatisir angka angka pada nomenklatur Belanja Pegawai yang terbaca pada dokumen dokumen Negara adalah bukti piawainya sang penulis. Sutradara yang lalu membaca ada keuntungan besar dibalik tulisan tersebut diduga kuat menggarap nya dan membuat drama kolosal (melibatkan sejumlah pemeran). Sumberdaya Manusia (SDM) dengan konsekuensi uang Negara secara bervarian menjadi objek cerita. SKPD SE-TTS, diberi peran pembantu. Sementara Lembaga Eksekutif dan DPRD mendapatkan peran utama. Bahasan kisahnya diawali dengan pembahasan Ranperda, lalu masuk dalam pembahasan Perda APBD, Perda Perubahan (termasuk didalamnya Evaluasi Gubernur yang kemudian diringkas dalam Ringkasan Perubahan APBD, Implementasi atau Realisasi/operasional), Perda Perhitungan, RPJMD Bupati dan LKPJ Bupati TTS. Uniknya cerita cerita lepas yang merupakan inti penjabaran yang didalamnya terkandung kejahatan korupsi disensor lembaga peradilan. Namun perlahan dan pasti masyarakat yang semula hanya menjadi penonton kemudian meringsek masuk, mengambil peran dan memberi tekanan kritis. Variasi angka pada Belanja Pegawai dari 210 milyar lebih, diacak ke angka 235 milyar lebih, kemudian di rubah ke angka 261 milyar lebih, digodok lagi ke angka 252 milyar lebih, lalu dikemas lagi ke angka 275 milyar lebih dan berakhir di angka 299 milyar, kini diangkat ke permukaan dan menjadi tontonan menarik. Diferensiasi penulisan angka dalam dokumen Negara yang ditulis sang penulis rupanya beralur stigma “Tindakan Khusus Meraup Anggaran Negara Menuai Untung”. Tikus “Marmut”, bak Hama, yang harus dibasmi, diperangkap mati, diperangi dan bukan dijadikan sebagai alat untuk memperkaya diri dan kelompok, ataupun sebagai buruan besar karena kandungan dagingnya berkadar gizi tinggi. Iwan Fals Sang Maestro Musik Indonesia melalui lirik dan syair lagunya sudah menabuh gendang perangi Tikus Berdasi yang kalap dengan uang rakyat. Tekanannya jagalah pandangan mata anda terhadap sorotan mata Tikus. Sebab ketika sorotan mata Tikus menjadi dominan maka yang terjadi adalah layaknya film Miky and Mouse (kadang bersahabat dan saling menggelitik, kadang bermusuhan namun kemudian saling merangkul demi tujuan saling menjaga). Kalau demikian kejadiannya ya Tikus Marmut akan tetap jaya. Wasalam di Edisi Fajar Timor.com (Bony Lerek)