fajartimor.net — Revitalisasi pelayanan rumah sakit memang sudah selayaknya dilakukan secara holistik bahkan perlu keberanian pengambil keputusan didukung regulasi yang tegas sehingga membuat efek jera. Hal ini berlatar belakang, masih banyak pengelola rumah sakit dan tenaga kesehatan yang enggan melayani pasien miskin atau orang tak berduit.
Salah satu kandidat Menteri Kesehatan, Ribka Tjiptaning, berjanji akan menerbitkan peraturan pemerintah (PP) terkait pemidanaan terhadap pengelola rumah sakit atau tenaga medis dan para medis yang menolak melayani pasien yang sakit. Hal ini akan dilakukannya jika Joko Widodo resmi menjadi presiden dan dirinya ditunjuk menjadi Menteri Kesehatan.
“Pasal 32 Undang-Undang (Nomor 36 Tahun 2009 tentang) Kesehatan itu sudah mengatur kedaulatan rakyat, pidana kepada yang menolak melayani pasien. Tapi belum ada PP-nya. Itu yang membedakan kita nanti,” ujar Ribka di Posko Perjuangan Rakyat (Pospera), Jakarta Pusat, Selasa (29/7/2014).
Ribka mengatakan, UU yang ada saat ini sudah cukup mengatur hak rakyat untuk mendapat pelayanan kesehatan, di lembaga pelayanan kesehatan mana pun. Namun, lanjutnya,belum ada peraturan pelaksana yang mendukung UU tersebut untuk menjamin penegakan hukumnya.
Oleh karena itu, rumah sakit (RS) atau tenaga kesehatan masih mengabaikan pelayanan pasien. Ia mengatakan, jika ada PP soal pemidanaan penolakan pasien, maka tidak ada lagi RS atau tenaga kesehatan yang berani menolak pasien meski tidak punya uang untuk biaya RS.
“Kalau ada sanksi, ada efek jera, tidak ada lagi yang berani menolak. Karena tenaga kesehatan itu sumpahnya mengedepankan kemanusiaan,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Pasal 32 dan Pasal 190 UU Kesehatan mengatur, RS atau tenaga kesehatan yang menolak melayani pasien dipidana penjara maksimal dua tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Jika penolakan itu menyebabkan kematian pasien, maka RS atau tenaga kesehatan dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. (Kompas.com/ft tim)