Lembata, fajartimor.net – Diduga uang muka sejumlah proyek dengan total nilai, lebih dari Rp 100 milyar ‘dipotong’ sebesar 10 persen sebagai fee oleh oknum pejabat/mantan pejabat tinggi di Lembata untuk membiayai kegiatan politik paket tertentu dalam Pilkada.
Buah dari dugaan potongan sebesar 10 persen total nilai lebih dari Rp 100 milyar tersebut berakibat pada berjalan di tempat sejumlah kegiatan pelaksanaan proyek infrastruktur di Lembata. Hingga awal November 2016, realisasi fisik sejumlah proyek baik yang bersumber dari dana APBN, APBD I dan APBD II Lembata sangat rendah.
Seturut sumber terpercaya media ini, terjadinya keterlambatan realisasi fisik pekerjaan karena kontraktor pelaksana kesulitan keuangan. Hal ini diduga terjadi karena uang muka proyek sebesar 30 persen yang telah dicairkan, telah dipotong oleh oknum pejabat dan oknum mantan pejabat terkait sebagai fee (sebesar 10 persen) untuk membiayai paket tertentu dalam Pilkada Lembata.
“Kontraktor harus berutang material kepada pemasok karena uang muka tidak cukup untuk membiayai fisik pekerjaan hingga mencapai sekitar 45 persen (sebagai syarat pencairan dana proyek pada termin berikutnya, red). Bahkan sejumlah proyek di Lembata menumpuk pada kontraktor ‘piaraan’ oknum pejabat tertentu hingga melebihi batas kemampuan kerjanya,” ucap sumber tersebut.
Dari hasil investigasi media ini, terkuak, PT Trans Lembata merupakan salah satu Perusahaan/kontraktor yang mengerjakan mega proyek di Lembata. Total nilai pekerjaan sesuai kontrak yang diketahui mencapai lebih dari Rp 60 milyar. Variasi pekerjaan yang didapat Perusahaan tersebut justru bersumber dari APBN, APBD I, maupun APBD II Lembata.
Data Proyek yang dikerjakan PT Trans Lembata antara lain, Pelebaran Jalan Waijarang-Balauring Sepanjang 4 km dengan nilai sekitar Rp 19,6 milyar. Nomor Kontrak : HK02.03/013/PPK.WRN-LTK/2016 dengan nilai kontrak sebesar Rp 19.624.274.000,- yang dibiayai oleh ABPN Murni 2016. Waktu pelaksanaan selama 210 hari kalender terhitung sejak tanggal 8 Januari 2016.
Walaupun waktu pelaksanaan kontrak telah selesai, namun sesuai pantauan media ini hingga awal November 2016, realisasi fisik proyek ini masih rendah. Pada pekerjaan pasangan tembok penahan jalan dan drainase, kualitas fisiknya sangat rendah.
Seperti disaksikan media ini, campuran semen hanya terdapat dibagian sisi luar pasangan (samping kiri-kanan dan atas, red). Sedangkan pada bagian tengah pasangan, tidak diberi campuran semen. Padahal seharusnya diberi campuran sebagai perekat pasangan. Kondisi ini bisa terlihat pada tembok penahan yang pecah karena terkena ban excavator.
Kenyataan yang sama juga terjadi pada proyek Peningkatan Jalan Waijarang – Lamalera – Lebala (Segmen Watomiten – Loang) yang dibiayai dari APBD Lembata (DAK Reguler) tahun 2016 dengan nilai kontrak sekitar Rp 30,2 milyar.
PT Trans Lembata melaksanakan proyek ini sesuai Nomor kontrak PU.620/02/KONTRAK/PPK-BM-WWL/DPU/VI/2016, tertanggal 14 Juni 2016, nilai kontraknya Rp 30.215.264.000,-. Waktu pelaksanaan proyek selama 147 hari kalender (17 Juni 2016 s/d 30 Nopember 2016).
Namun sesuai pantauan media ini hingga awal November 2016, realisasi fisik proyek ini baru sekitar 10 persen. Pada jalan yang telah dilapisi hotmix (sekitar ratusan meter, red), telah terjadi degradasi dini alias terkelupas. Ketebalan hotmix hanya sekitar 2-3 cm.
Kualitas fisik pekerjaan pasangan tembok penahan jalan dan drainase di proyek ini, tidak berbeda dengan proyek Jalan Waijarang-Balauring. Campuran semen hanya terdapat dibagian sisi luar pasangan (samping kiri-kanan dan atas, red). Sedangkan pada bagian tengah pasangan, tidak diberi campuran semen. Padahal seharusnnya diberi campuran sebagai perekat pasangan.
Lainnya lagi, PT Trans Lembata juga melaksanakan Pekerjaan Hotmix dari di Jl. Trans Lembata (Segmen Lamahora – Batas Kota Lewoleba) dengan nilai sekitar Rp 6.045.200.000, dari APBD II Lembata. Tragisnya proyek dengan volume pekerjaan 4,03 km tersebut, kualitas fisik pekerjaannya justru terlihat amburadul.
Hal ini dapat dilihat pada fakta pekerjaan yaitu Ketebalan hotmix hanya sekitar 2 cm. Telah terjadi degradasi dini (penurunan kualitas sebelum masa pakai yang direncanakan, red) pada hotmix yang dikerjakan. Padahal baru beberapa bulan dikerjakan.
Seperti disaksikan media ini, di Jl. Trans Lembata, Lewoleba, tepatnya disekitar Kantor Bupati Lembata, tampak hotmix telah terkelupas dan berlubang di sana-sini. Juga tampak tidak ada kesetaraan pelapisan hotmix pada ruas-ruas jalan. Buktinya ada ruas jalan yang mulus dan ada juga ruas jalan yang kasar karena kuat dugaan kualitas hotmixnya yang berbeda.
Informasi lain yang berhasil didapat media ini, fisik pekerjaan yang amburadul tersebut telah menjadi temuan BPK NTT. Namun hingga awal November 2016, belum diperbaiki. Hanya tampak beberapa meter persegi yang telah dilapisi hotmix tipis. Bahkan hotmix yang telah terkelupas tersebut hanya disirami ter cair.
Selain itu, PT Trans Lembata juga melaksanakan Pekerjaan Peningkatan Jalan Provinsi Balauring – Wairiang sepanjang 1,50 km dengan nilai kontrak Rp 5.082.000.000 (hanya selisih Rp 40.180.000 dari pagu dana, red). Sesuai kontrak No. PU.BM.05.01/602/58/V/2016 tertanggal 4 Mei 2016, waktu pelaksanaan kontrak selama 150 hari kalender, terhitung sejak 11-05-2016 s/d 07-10-2016. Pantauan media ini pada akhir Oktober 2016 di Balauring, pekerjaan tersebut baru sampai pada tahap pelapisan agregat. Padahal, waktu pelaksanaan proyek telah selesai.
Fakta lainnya sesuai Pantauan media ini, Proyek Peningkatan Jalan Hingalamamengi – Kalikur – Wairiang yang dilaksanakan oleh PT Mega Duta Kontruksi, realisasi fisik baru sekitar 7 persen hingga akhir Oktober 2016. Proyek jalan sepanjang 4,75 km dibiayai dari DAK Regular SPP dengan nilai pagu sebesar Rp 7.125.000.000. Dan pekerjaan baru sampai pada pelapisan dan penimbunan agregat.
Hal unik, seperti disaksikan media ini, pekerjaan satu unit deker di Jl. Trans Lembata, tepatnya di Desa Kalikur WL, dikerjakan asal jadi. Fakta pekerjaan yang miris tersebut, rupanya mengundang kemarahan Kepala Dinas PU Kabupaten Lembata, Silvester Wungubelen. “Kalau kualiatas pekerjaannya seperti ini, saya tidak akan mentolerirnya,” ujar Silvester yang saat itu memantau pelaksanaan proyek bersama wartawan dan pihak Tipikor Lembata.
PT Mega Duta Konstruksi juga melaksanakan proyek peningkatan Jalan Tapobaran – Lodoblolong – Atanila-Bean-Tobotani (kontruksi lapen, red) dengan nilai kontrak lebih dari Rp 17,4 milyar. Proyek dengan kontrak No. . 05/SP/PPK/10-BM/DPU/VI/2016, tertanggal 15 Juni 2016 ini dibiayai dari dana APBD Lembata (DAK Regular SPP).
Pantauan media ini hingga awal Nopember 2016, pekerjaan proyek tersebut sedang dikerjakan alias belum selesai. Jalan dari Lodoblolong ke Atanila masih berupa bentangan agregat. Drainase di Lodoblolong, juga sedang dikerjakan. Padahal masa kontrak proyek tersebut akan selesai pada akhir November 2016.
Sementara itu, sesuai informasi yang dihimpun media ini, pada proyek Peningkatan Jalan Wairiang – Tobotani yang juga dikerjakan oleh kontraktor ‘piaraan’ oknum pejabat di Lembata, fisik pekerjaan hanya mencapai sekitar 6 persen. Padahal proyek dengan pagu dana Rp 7,5 milyar tersebut (DAK Reg. SPP) tersebut hanya untuk pembangunan jalan sepanjang 2,75 km.
Dari hasil pantauan lapangan media ini, realisasi fisik proyek yang rendah juga tampak pada pekerjaan Perluasan jaringan air minum/air bersih dari bak reservoir Benihading ke Desa Umaleu dan bak reservoir Hoelea ke Desa Buriwutung dengan nilai kontrak Rp 4.473.313.000,- dibiayai dari APBD Lembata (DAK IPD). Proyek ini dikerjakan oleh PT Pamduta Aneka Karya dan diawasi oleh CV Ariles.
Sesuai kontrak No. PU.690.3/10/AP.Wailain/CK-PKPAM/VIII/2016, tertanggal 4 Agustus 2016, waktu pelaksanaan proyek selama 120 hari kalender. Namun seperti yang disaksikan, hingga akhir Oktober 2016, pekerjaan baru sampai pada pengadaan ratusan batang pipa yang ditumpuk pada lokasi proyek.
Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada proyek Pembangunan Jaringan Air Minum dari Mata Air Wailuba untuk melayani Desa Lerek, Atawolo, Atakore, Nubahaeraka, Boaraja dan Desa Lewogroma dengan nilai pagu Rp 5 milyar yang dibiayai dari APBD Lembata 2016 (DAK IPD). Reservoar alias bak penampung pun belum dikerjakan. Begitupula dengan instalasi pipa.
Kepala Dinas PU Kabupaten Lembata, Silvester Wungubelen, yang dikonfirmasi terkait rendahnya realisasi fisik sejumlah proyek di Lembata, mengakui adanya keterlambatan realisasi fisik proyek tersebut. “Ada oknum kontraktor yang sudah overload (melebihi kemampuan kerja, red) karena mengerjakan proyek bernilai besar baik Proyek APBN, APBD I NTT, maupun dari Dana APBD II (DAK) Lembata tahun 2016,” ujarnya.
Namun menurut Silvester, pihaknya akan terus mengikuti perkembangan realisasi fisik proyek khususnya yang didanai APBD Lembata. “Jika hingga akhir masa kontrak, kontraktor pelaksana tidak mampu menyelesaikan pekerjaan, maka pihaknya hanya akan membayar sesuai realisasi fisik proyek. Jaminan pekerjaan akan dicairkan sehingga Negara tidak dirugikan, bahkan masih diuntungkan,” kilahnya (ft/suaraflobamora. oni/ian)